Nagara Institute Laksanakan FGD bertema Oligarki Partai
Jakarta, 28 Januari 2020
Nagara Institute adalah Lembaga Kajian Politik, Demokrasi, dan Kenegaraan yang didirikan pada akhir 2019 lalu. Akbar Faizal adalah direktur eksekutif lembaga ini yang berfokus pada perencanaan dan pelaksanaan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kajian politik, demokrasi, dan kenegaraan.
Nagara Institute menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Seri I dengan tema OLIGARKI PARTAI DAN PENGARUHNYA BAGI SISTEM PEMERINTAHAN. Narasumber yang menyampaikan pandangan dalam diskusi ini adalah Soni Sumarsono, Eko Sulistyo, Luky Jani, Taufiq Amrullah, Sulfikar Amir, Zuhairi Misrawi dengan Mulyadi sebagai moderator.
Oligarki adalah sekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan mengendalikan institusi, organisasi, atau negara dengan kekayaan, keluarga atau kekuatan militer yang dimiliki. Oligarki dapat masuk ke berbagai lini untuk kepentingan seseorang atau kelompok tersebut. Dan kondisi ini terjadi di banyak negara.
“Tetapi faktanya oligarki adalah sesuatu yang tidak dihindarkan dan terjadi di seluruh dunia. Hanya saja ada oligarki putih yang melanggengkan kekuasaan demi kepentingan masyarakat dan negaranya, seperti di Singapura,” jelas Sulfikar Amir Dewan Kurator Nagara Institute bidang Sains dan Demokrasi.
Dalam hal demokrasi, Presiden ke-3 RI BJ Habibie sebetulnya melakukan terobosan desakralisasi kekuasaan di awal reformasi.
“Pak Habibie melakukan desakralisasi istana yang sayangnya tidak diikuti kehadiran regulasi dan malah kalah cepat dengan populisme. Dan populisme ternyata menghasilkan oligarki baru sehingga perputaran kekuasaan ini terjadi dengan terus-menerus,” ujar Direktur Riset Open Parliament Institute Taufiq Amrullah.
Oligarki partai adalah masalah besar yang mengancam dan tidak dapat ditoleransi. Luky Djani menjelaskan di awal reformasi, masyarakat sipil memiliki kekuatan yang besar, sementara itu elit politiknya lemah. Seperti apa saat ini?
“Sebetulnya masyarakat sipil dalam kondisi yang stabil dengan awal reformasi, tetapi elit politiklah yang menguat,” ungkap Luky. Dan di Indonesia, partai politik lebih dominan didasarkan pada garis darah yang kemudian menghasilkan konsentrasi kekuasaan dan ketidaksetaraan ekonomi. Disertasi Akbar Faizal menunjukkan data tersebut.
“Hasil penelitian saya memaparkan data adanya 74 dinasti politik pilkada di 25 provinsi dan 174 dinasti politik pemilu legislatif nasional di 34 provinsi,” jelas Direktur Eksekutif Nagara Institute tersebut.
Ini menunjukkan ada masalah dalam fungsi politik. Fungsi politik meliputi artikulasi, agregasi, komunikasi, sosialisasi, dan rekrutmen politik. Oligarki partai menyebabkan tidak berlangsungnya rekrutmen politik secara ideal.
Tapi ada pula kabar baik bahwa ternyata klan politik memiliki kekuatan yang ada batasnya. Artinya kekuatannya tidak besar sekali dan tidak mutlak, terutama dari sisi elektoral. Dapat dilihat dari bukti pilkada yang menunjukkan bahwa kekuatan oligarki politik tidak selalu mendapat tempat di hati masyarakat.
Tetapi tetap saja, oligarki menjadi ancaman yang semakin besar jika tidak diatur. Praktik oligarki menimbulkan kekhawatiran di level lokal dan nasional.
“Oligarki memang membuat politik lebih stabil, tetapi minim atau bahkan tidak adanya check and balance. Bagaimana kita bisa membayangkan check and balance yang terjadi jika orang tua menjadi ketua DPRD dan anaknya adalah kepala daerah? Oligarki yang memberi dampak pada rekrutmen politik pada akhirnya berhubungan erat dengan korupsi,” demikian diungkapkan Mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh oligarki lebih besar dibandingkan manfaat yang diberikan. Perubahan harus dilakukan dan dapat terjadi jika ada regulasi, edukasi, manuver, rekrutmen, dan pengaturan pembiayaan partai politik yang ketat.