Nagara Institute: Distribusi dan Regulasi Subsidi Jadi Kunci Ketersediaan Pupuk Petani
Nagara Institute menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang bertemakan “Keberlanjutan Usaha Pertanian: Ketersediaan Pupuk dan Dukungan Input Agro”. Sejumlah persoalan seperti kasus kelangkaan pupuk, hingga tingginya impor pangan dibahas dalam FGD tersebut.
FGD ini diikuti para pemangku kepentingan pertanian dan pangan seperti Pemprov Jawa Barat, Perwakilan DPR RI, Kementerian Pertanian, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat, Senior Project Manager Advokasi Publik PT Pupuk Indonesia Yana Nurahmad Haerudin, akademisi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, dan pengamat pertanian, Khudori.
Direktur Eksekutif Nagara Institute, Akbar Faizal mengatakan bahwa FGD ini bertujuan untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh sektor pertanian, khususnya terkait dengan pupuk.
“Pupuk adalah salah satu input pertanian yang terpenting, selain tenaga kerja dan teknologi. Pupuk masih dianggap sangat menentukan jumlah hasil produktivitas lahan pertanian terutama ketika dihadapkan pada lahan pertanian yang mengalami degradasi dan kekurangan zat hara,” ujar Akbar, Kamis (24/1/2024).
Akbar menambahkan, isu terkait penyediaan dan akses pupuk yang inklusif bagi petani masih menjadi pokok permasalahan yang muncul di publik. Ia menilai bahwa kebijakan subsidi pupuk yang diberlakukan oleh pemerintah masih menimbulkan masalah dalam proses eksekusi dan implementasi.
“Penentuan jumlah subsidi masih di bawah angka yang dicatatkan dalam E-RDKK karena bergantung kepada alokasi dari Kementerian Keuangan. Permasalahan yang dihadapi juga lebih dari sekadar masalah ketersediaan saja. Justifikasi terhadap penentuan komoditas dan kelompok petani sasaran subsidi diperhatikan dalam diskursus kebijakan karena berdampak luas,” tutur Akbar.
Lebih lanjut Akbar menilai isu ini menjadi sangat krusial karena beberapa alasan, yaitu: selalu berulangnya kasus kelangkaan pupuk yang dikeluhkan petani; Tingginya impor pangan akhir-akhir ini terutama beras, dan perkembangan kondisi pertanian dan pangan global yang ditandai dengan gangguan produksi pangan; restriksi ekspor dari negara-negara penghasil pangan, serta subsidi pertanian terselubung negara-negara besar untuk melindungi petaninya.
Solusi Konkret Atasi Kelangkaan Pupuk
Dalam konteks ekonomi politik Indonesia, isu ini juga telah mengemuka pada debat perdana calon presiden peserta Pilpres 2024 pada 12 Desember 2023 lalu dan debat kedua calon wakil presiden pada 21 Januari 2024.
Kata Akbar Faizal, momentum yang baik ini perlu dimanfaatkan agar pemerintahan baru yang akan terbentuk pada 2024 mendatang dapat memberi solusi konkrit atas permasalahan ketersediaan pupuk untuk mendukung kedaulatan pangan sebagai pondasi tercapainya Indonesia Emas 2045.
Dalam FGD itu, para pakar yang menjadi pembicara ataupun penanggap menyoroti persoalan subsidi pupuk yang tidak efektif dan sangat rawan penyelewengan. Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat, Nu’man Abdulhakim yang menjadi pembicara dalam diskusi itu menanyakan, apakah kebijakan tambahan subsidi pupuk sesuai dengan kebutuhan petani atau tidak.
Persoalan itu ditambah dengan ada kekhawatiran potensi kebocoran anggaran subsidi pupuk yang lebih besar. Maka perlu diambil solusi agar masyarakat bisa menerima manfaat secara lebih luas dan nyata.
“Di Jawa Barat, lahan pertanian sudah banyak yang beralih fungsi. Ini berpengaruh pada produksi pangan. Lalu, harga jual gabah padi juga sangat rendah, bahkan lebih murah dari rokok. Kami berpikir, sebaiknya anggaran pupuk bersubsidi dialihkan untuk membeli gabah, agar harga beras tetap terjangkau bagi masyarakat,” kata Nu’man.